Selasa, 10 September 2013

Syech Achmad Khatib Al - Sambasy

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Ahmad Khatib Sambas dilahirkan di daerah Kampung Dagang, Sambas, Kalimantan Barat, pada bulan shafar 1217 H. bertepatan dengan tahun 1803 M. dari seorang ayah bernama Abdul Ghaffar bin Abdullah bin Muhammad bin Jalaluddin. Ahmad Khatib terlahir dari sebuah keluarga perantau dari Kampung Sange’. Pada masa-masa tersebut, tradisi merantau memang masih menjadi bagian dari cara hidup masyarakat di Kalimantan Barat.


Sebagai sebuah daerah yang dibangun oleh Raja Tengah, keturunan dari Raja Brunei Darussalam, pada tahun 1620 M. dan menobatkan diri sebagai sebuah kerajaan sepuluh tahun kemudian. Maka wilayah Sambas adalah daerah yang telah memiliki ciri-ciri kemusliman khusus sejak Raden Sulaiman yang bergelar Muhammad Tsafiuddin dinobatkan sebagai Sultan Sambas pertama.

Pada waktu itu, rakyat Sambas hidup dari garis agraris dan nelayan. Hingga ditandatanganinya perjanjian antara Sultan Muhammad Ali Tsafiuddin (1815-1828) dengan pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1819 M. Perjanjian ini membentuk sebuah pola baru bagi masyarakat Sambas yakni, perdagangan maritim.
Dalam suasana demikianlah, Ahmad Khatib Sambas menjalani masa-masa kecil dan masa remajanya. Di mana sejak kecil, Ahmad khatib Sambas diasuh oleh pamannya yang terkenal sangat alim dan wara’ di wilayah tersebut. Ahmad Khatib Sambas menghabiskan masa remajanya untuk mempelajari ilmu-ilmu agama, ia berguru dari satu guru-ke guru lainnya di wilayah kesultanan Sambas. Salah satu gurunya yang terkenal di wilayah tersebut adalah, H. Nuruddin Musthafa, Imam Masjid Jami’ Kesultanan Sambas.

Karena terlihat keistimewaannya terhadap penguasaan ilmu-ilmu keagamaan, Ahmad Khatib Sambas kemudian dikirim oleh orang tuanya untuk meneruskan pendidikannya ke Timur Tengah, khususnya ke Makkah. Maka pada tahun 1820 M. Ahmad Khatib Sambas pun berangkat ke tanah suci untuk menuntaskan dahaga keilmuannya. Dari sini kemudian ia menikah dengan seorang wanita Arab keturunan Melayu dan menetap di Makkah. Sejak saat itu, Ahmad Khatib Sambas memutuskan untuk menetap di Makkah sampai wafat pada tahun 1875 M.
Sebagian besar penulis Eropa membuat catatan salah, ketika mereka menyatakan bahwa sebagian besar Ulama Indonesia bermusuhan dengan pengikut sufi. Hal terpenting yang perlu ditekankan adalah bahwa Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah sebagai seorang Ulama (dalam arti intelektual), yang juga sebagai seorang sufi (dalam arti pemuka thariqat) serta seorang pemimpin umat yang memiliki banyak sekali murid di Nusantara. Hal ini dikarenakan perkumpulan Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah yang didirikannya, telah menarik perhatian sebagian masyarakat muslim Indonesia, khususnya di wilayah Madura, Banten, dan Cirebon, dan tersebar luas hingga ke Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam.

Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah

Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah adalah nama sebuah tarekat yang merupakan penggabungan dari Tarekat Qodiriyah dengan Tarekat Naqsyabandiyah yang dilakukan oleh Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi atau biasa disebut juga dengan nama Syaikh Achmad Khatib bin Abdul Ghaffar al-Sambasi al-Jawi. Ia adalah ulama besar dari Indonesia yang diangkat menjadi imam Masjidil Haram di Makkah al-Mukarramah. Ia tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah. Ia wafat pada tahun 1878.
Beliau Sebagai seorang guru mursyid yang kamil mukammil, Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi sebenarnya memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya. Karena dalam tradisi Tarekat Qodiriyah memang ada kebebasan untuk itu bagi yang telah mempunyai derajat mursyid.
Sebenarnya kalau melihat modifikasi ajaran yang ada dan tatacara ritual tarekat itu, dan karena memang tarekat ini adalah hasil ijtihad beliau, maka layak jika nama tarekatnya itu dinisbatkan sebagai Tarekat Khathibiyah atau Sambasiyah. Namun karena sikap tawadlu' dan ta'dhim Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi terhadap pendiri Tarekat Qodiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah, maka beliau tidak menisbatkan nama tarekat itu kepada namanya.
Murid-murid syekh Ahmad Khotib Sambas cukup banyak, beberapa diantaranya berasal dari tanah air termasuk syekh Ahmad Khotib sendiri. Murid beliau diantaranya: syekh Abdul Karim dari Banten, syekh Tolhah bin Tolabuddin dari Cirebon, dan Syekh Hasbulloh dari Madura. Syekh Tolhah bin Tolabuddin setelah selesai menuntut ilmu di Mekkah kepada syekh Ahmad Khotib Sambas, kemudian kembali ke tanah air dan ditetapkan sebagai khalifah TQN untuk wilayah Jawa Barat bagian timur (Cirebon) sekitar tahun 1876 Masehi pada usia 51 tahun, atau dua tahun sebelum syekh Ahmad Khotib wafat di Mekkah sekitar tahun 1878 masehi.
Semenjak menjadi khalifah TQN untuk wilayah Cirebon, syekh Tolhah mempunyai cukup banyak murid, diantaranya KH.Abdulloh Mubarok bin Nur Muhammad yang dikenal dengan panggilan Abah Sepuh atau ajengan Godebag dari Tasikmalaya. Setelah cukup lama berguru kepada syekh Tolhah, Abah Sepuh mendapat kepercayaan dan diangkat menjadi wakil talkin. Sekitar tahun 1908 dalam usia 72 tahun, Abah Sepuh diangkat menjadi mursyid TQN (syaikh) yang berkedudukan di Patapan Suryalaya Tasikmalaya-Jawa barat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar